Saturday 3 May 2014

[Quiz MFF #4]: Ayunan Terakhir


Sudah belasan tahun berlalu, tapi rumah mungil di ujung jalan itu masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah, masih dengan gayanya yang jadul namun kokoh berdiri, tidak tampak tanda-tanda akan roboh.  Pagar kayu yang dulu,  pohon rindang dengan ayunan yang  sama masih tetap di sana.


 
Credit: Betty Sanjaya
“Kamu lucu.”

“Rambut kamu kayak sarang burung,” ledekku.

Lina terkekeh, sementara kedua bola matanya berputar, seakan ingin mengintip ujung-ujung rambut ikalnya yang bergelayut di pangkal keningnya. “Aku iri sama rambutmu yang lurus. meski sekarang seperti terkena sengat listrik,” ujar Lina sambil menggigit jambu air. 

Kami tertawa lagi.

Aku merebahkan tubuh di samping Lina, diatas rerumputan, kadang terasa geli saat ujungnya yang lancip menyentuh pori-pori kulitku.  Lelah dan senang  setelah puas bermain ayunan dan berteriak sekencang-kencangnya. Saling bergantian mendorong, selalu dengan permintaan yang sama, "Lebih tinggi lagi!"

Dari sini kami bisa melihat pematang sawah di ujung sana yang menguning keemasan. Indah dengan kemilaunya bermandikan semburat mentari sore. 


“Ngerujak, yuk?”

Satu tepukan lembut membuyarkan lamunanku.  Jojo, abangnya Lina mengajakku duduk di halaman rumahnya. Bu Asih, mamahnya Lina tersenyum, mengajakku menikmati rujak buatannya. Rujak kesukaanku dan Lina, rujak jambu air.

“Aku kangen Li,” kataku tercekat.

Jojo tersenyum tipis, “Kami juga,”

Bu Asih menatapku dalam. Aku menunggunya berbicara, ada sesuatu yang membuat kerongkongku terasa kering. Sementara sepiring rujak yang ada di hadapanku belum tersentuh sama sekali. Kenangan itu, kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, “Lina sudah tenang, setenang senyumnya sore itu setelah bermain ayunan untuk yang terakhir kali.”

Tiba-tiba aku merasa sesak. Dadaku seperti dihantam godam. Susah payah aku hapus kenangan itu, tapi tidak pernah bisa. Kenangan yang  membawaku kembali ke sini.

Lima belas tahun yang lalu, sehari sebelum keluargaku pindah, kami  bermain ayunan bersama. Lina memintaku mendorong bannya lebih keras. Aku bersemangat, sampai satu dorongan  membuatnya terdiam. Hari itu, bukan saja hari terakhir kami bermain.  Kedua tanganku  jadi pembuka jalan bagi Lina ke tempat istirahat terakhirnya. Sebuah batu nisan yang hanya  beberapa meter berjarak dari ayunan itu. Di sana Lina terbaring dalam tidur panjangnya.  

Aku menangis sesenggukan. 





Share:

6 comments:

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.