Sunday 22 September 2013

Mobil Murah atau Pangan Murah? *Curhat seorang Angkoter*

Bukan karena saya sopir angkot ( bayangin ada sopir angkot nan imut seperti saya, maksudnya imut secara fisik), atau karena saya owner alias juragan angkot, bukaaaan. 90% saya selalu pake angkot kemana-mana. Sisanya saya pake motor pun sebagai penumpang. Faktor jarak yang jauuuh sekali, karena dikejar waktu (kucing-kucingan, gitu?) atau enggak hafal rute (nah ini yang lebih sering).

Jadi, nih saya mau ikutan komentar soal heboh-hebohnya mobil yang katanya murah biaya dan ramah lingkungan. Suara seorang citizen, boleh dong, ya? Konon yang katanya harganya diseting agar bisa terjangkau masyarakat menengah ke bawah. Plafonny
a enggak boleh lebih dari 95 jutaan. (sumber: viva.co.id). Eh, tapi enggak boleh pake premium, kudu pake petramax. Nah, lho? katanya low cost? Cost itu kan biaya, ya? Bukan cuma biaya ngurusin surat-surat kepemilikan, tapi juga biaya 'minum' hariannya. Jebakan batman ini mah :)


Dengan adanya mobil ijo yang ramah tamah eh ramah lingkungan ini enggak lantas mereka yang udah punya sebelumnya bakal 'membuang' mobil lamanya, tuh. Saya jadi inget beberapa adegan film amerika yang menampilkan latar 'tempat pembuangan akhir' mobil alias mobil yang udah enggak kepake lagi. Padahal bodinya  masih kelihatan mendingan, di Indonesia sini masih banyak yang lebih tuaan yang masih wara wiri di jalanan. Malah minggu kemarin saya pernah melihat mobil yang tua renta, lebih ancur dari kaleng kerupuk karatan masih nangkring di sebuah perkantoran. Saya berani jamin mobil itu masih dipake, melihat keadaan di dalamnya yang menunjukan  ada tanda-tanda kehidupan. Ehm, tipikal Indonesia banget, yang merasa sayang membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan sampai benar-benar menyerah, alias hancur. 

Soal populasi, enggak usah ditanya lagi deh, udah pasti bakal bikin nyesekin badan jalan. Lebarnya jalan dan panjang udah model 'segi'. Bukan segi empat, segi lima, segi enam atau model rambut yang pernah booming waktu saya SMA eh SMU dulu (eh alah) tapi 'segitu-gitu'nya. Ya ada sih, pelebaran jalan tapi ga bisa terus-terusan 'ngegusur' lahan yang udah ada. Lama-lama bisa habis gedung-gedung, rumah dan aneka penampakan lainnya yang udah sah berhak memiliki dan memakai lahan. Entah berapa panjang dan berapa lama lagi antrian mobil yang bakal mengular. Kasihan Jokowi yang pengen mengurai kemacetan di Jakarta, malah 'ditimpuki' tambahan penghuni jalanan. Belum ada heboh-heboh mobil murah ini aja saya udah males ditawari nyari kerja di Jakarta. Apalagi sekarang, Magasidaaaa, kalau kata Tamara Geraldine hehehe....


Tsaaah, pede bener, sih, Fi? Heuheu.... bukan soal diterima atau enggak. Selain udaranya yang bikin gerah, dengan kemacetan di Bandung aja saya udah sebel. Apalagi kalau dikasih kemacetan seperti di Jakarta yang lebih buas? Enggak deh....

Enggak usah ribet gitu deh. Ini kan yang beli bisa buat di luar pulau jawa. Faktanya, baru beberapa hari pameran dibuka, yang pesan kebanyakan masih kawasan Jabodetabek, tuh.  Kenapa pamerannya enggak di gelar di Timika, misalnya? Jelas-jelas populasi mobil di sana ga seabrek seperti di Jakarta, atau Bandung. Lagi pula  jalanan nun jauh di pedalaman sana, juga masih membutuhkan infrastruktur pendukung agar mobilnya enak jalan, enggak tergguncang-guncang seperti naik kora-kora atau kicir-kicir di dufan sana. Aih, mules bayanginnya. Saya makin gemes aja,  pas satu-dua pembeli mobil diwawancara nyantei saja bilang di garasinya udah berderet mobil pabrikan lainnya. Hmmm, ya. one person one car, ya pak? Terserah sih, emang itu uang uang dia. Bukan usil sama urusan dompet orang.

Ah, bukannya saya anti kemapanan, sirik dan sebagainya. Katanya ngehemat bbm. Iya sih, yang dikonsumsi emang bukan bbm bersubsidi alias premium, tapinya petramax yang enggak pake subsidi. Lha, lama-lama nanti konsumsi Petramax bisa bengkak, kayak gajah di kebun binatang sana, kalau satu waktu suplai petramax enggak bisa memenuhi permintaan petramax lagi, gimana?

Padahal, enggak usah jadi profesor buat menjawab solusi kemacetan ini. Transport massal yang murah dan nyaman. Itu kan, yang kita butuhin? Nah, selain merumuskan formulanya, yang enggak gampang itu emang menanam mindsetnya. Bukan sekali dua kali saya sering denger keluhan teman yang merasa pusing naik angkot. Enggak terbiasa lah, mual lah, ulah sopir angkot yang ugal-ugalan lah,  faktor waktu tempuh lah atau itung-itungan biaya dan 'lah-lah' lainnya. Kalau misalnya yang biasanya naek motor nih, dengan satu liter bensin (Rp. 6.500an), bisa cukup buat jatah transport 2-3 hari perjalanan pp (tergantung jarak dan mobilitas juga). Sementara dalam sehari saja, kalau pake angkot bisa sampai Rp. 10.000- Rp. 15.000an, atau malah lebih. Ckckck....

Oke, emang sekarang lebih irit pake motor. Tapi itu kan dipake buat satu orang saja (jarang yang boncengan, kan, pake motor? Kecuali tukang ojek). Sekarang kalau angkot dengan 1 liter (tentu saja jarak tempuhnya lebih pendek dari motor),  bisa memuat sekitar 12 orang  termasuk sopir dan penumpang. Asumsinya, sopir memperlakukan penumpang dengan manusiawi, bukan dianggap pindang yang bisa dijejelin demi mengejar setoran. Nah, rata-ratain deh konsumsi pemakain premium, jauuuuuh lebih irit, kan? Itu baru satu mobil lho.  

Jaman SMP-SMA eh SMU dulu saya masih ngalamin lari-larian ngejar-ngejar  angkot, sampe pake acara sikut-sikutan rebutan 'jatah kursi' dengan bapak-bapak, ibu-ibu, mbak-mbak, (tapi rasanya enggak pernah dengan emak-emak ) demi enggak mau kesiangan (seperti salah satu scenenya Lupus: Kejarlah Daku, Kau Kujitak). Sekarang udah jauh berbeda, ya? Lebih banyak motor dan mobil pribadi yang berseliweran. Parahnya lagi (lagi-lagi curhatnya seorang angkoter dan pedestrian sekaligus), saat berjalan kaki pun saya enggak sepenuhnya merasa aman dan nyaman. Trotoar yang mestinya saya bisa pakai kalau tidak dipenuhi PKL, masih diserobot motor yang dengan santainya 'menyalak', menyuruh saya minggir. Atau saat menyebrang jalan nih, susah nian menunggu jeda yang lebih panjang, menanti barang beberapa detik saja agar saya dikasih kesempatan buat nyebrang. 

Balik lagi ke transport massal, memang seperti pertanyaan 'lingkaran ular' yang gak berujung. Kenapa macet? Karena banyak angkot yang ngetem. Kenapa banyak angkot yang ngetem? Karena angkotnya banyak yang kosong. Kenapa banyak yang kosong? Karena orang-orang ogah pakai angkot yang ugal-ugalan. Kenapa banyak yang ugal-ugalan dan ngetem? Karena angkotnya kosong, ngejar setoran de el el.

Emang masih kejauhan, sih, kalau ngarepin angkutan massal yang nyaman seperti di Belanda, Jepang atau tetangga terdekat kita, Singapura. Tapi sambil berjalan, sebenarnya kita bisa memanfaatkan yang udah ada. Ada Trans Bus misalnya. Meskipun konsepnya lebih banyak ruangan berdiri daripada duduk alias kelas festival. Atau seperti yang baru aja lewat, acaranya #AngkotDay yang digelar di Bandung 20 September 2013 ini. Kebetulan sekali, saya perlu mengganti buku tabungan saya di sebuah bank yang ada di kawasan Dago. Dari dan ke Bank Syariah Mandiri, saya lihat sepanjang jalan relatif lancar, enggak ada kemacetan dan seperti 'dejavu' balik ke tahun 90an, angkot nya hampir semua penuh. Saya harus menunggu sedikit lebih lama angkot Kalapa - Dago yang lewat. Satu pemandangan yang saya jumpai, tanpa kesepakatan bersama, tanpa paksaan dan tanpa himbauan (seenggaknya yang saya baca di stiker yang terpampang di pintu angkot), semua penumpang angkot dengan riangnya mengucapkan terimakasih. Iya, sih emang gratis karena acara #AngkotDay ini sudah ditalangi dananya secara urunanan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah kota. Tapi, bukan soal 'haratis'nya juga. Sopir yang tertib, enggak ada asap rokok (ini obsesi saya dari dulu), penumpang yang ga sewot adalah 'kerinduan' yang akhirnya terbayarkan.

Gambarnya ngambil dari sini

Entah kapan nih, mudah-mudahan saya masih keumuran (dan dikasih sehat juga) bisa lihat transportasi di Bandung (minimal) yang asyik dan nyaman kayak di Belanda. Seperti yang pernah saya baca di novel Negeri van Oranje. Lintang, Banjar, Daus, Wicak dan Geri bisa santai bersepeda ria dan jalan-jalan keliling Belanda dengan bis yang nyaman dan sistem tiket yang rapi. 

Padahal kita semua tahu, tingkat kesejahteraan wong londo sono, jauh di atas rata-rata pendapatan kita yang 'mepet' dengan garis kemiskinan, ya. Naik angkutan massal enggak berarti mereka enggak mampu. Mereka milih sarana transport massal karena fasilitasnya yang nyaman, ngapain ribet-ribet bawa kendaraan sendiri? Jadi kayak enggak harus show off dengan tongkrongan yang yahud.

Saya setuju banget dengan postingan yang ramai di FB. Isinya seperti ini:

"Negara yang maju adalah negara yang pemerintahnya mampu membuat kelompok kaya naik angkutan umum, bukan kelompok miskin beli mobil murah"

Kalau saya dihadapkan pada dua pilihan nih.
Pilihan A : Saya punya mobil murah, tapi bete terjebak kemacetan dan pusing mikiran kebutuhan dapur yang mahal. 
Pilihan B : Saya duduk manis dan santai di angkutan massal yang nyaman dan enggak dipusingin dengan harga kebutuhan dapur .

Dengan mantap, saya bakal pilih B.Bukan karena saya mikirin perut lho, kenyataannya kita emang dipusingkan dengan harga-harga pangan yang 'aplusan' main-main di tanjakan. Dari bawang  sampai kacang kedelai. Mudah-mudahan mereka segera ke habitatnya, meski enggak berarti harus terjun bebas di turunan. Kasihan petani, kapan mereka mau kaya dan sejahtera?

Mimpi yang semoga segera kesampaian. :) Semoga saja besok lusa, para policy taker enggak linglung bin kebalik lagi menentukan kebijakan. Semoga benar-benar kebijakan yang bijak. 





Share:

7 comments:

  1. Yang diperlukan adalah sembako murah, gas murah, listrik murah.
    Emang mobil murah bisa di makan?

    ReplyDelete
  2. Pangan murah lebih penting, ya memang 2 duanya penting tapi yang lebih penting adalah mengurusi perut sejengkal di negeri yang katanya 'masih' agraris ini. tapii...(agraris kok ngimpor)
    #tepok jidat

    ReplyDelete
  3. Begitulah, saya malah lupa (atau enggak mudeng) kebijaka apa yang tepat yang pernah diambil dalam beberapa persoalan yang kita hadapi belakangan ini.

    ReplyDelete
  4. jaman sekarang cari yang murah pasti susah, semuanya ada subtitusinya, (harganya murah-perawatanya mahal) sama aja bohong donk.....!
    kalau bicara soal ramah lingkungan, lebih ramah lingkungan lagi jika g pake kendaraan bermotor.....
    #Green Jihad
    salam.....

    ReplyDelete
  5. Kalau Fenny seh pengennya punya satu mobil aja dan masing-masing satu motor :D

    ReplyDelete
  6. saya sangat setuju dengan pendapat pangan murah...
    gak perlu naik mobil kalo bisa makan enak...
    naik mobil bisa bisa dibilang kaya udah gak zaman kalo mobil udah banyak..
    dan naik mobil tidak akan nyaman kalo jalanan udah macet....

    ReplyDelete
  7. semoga transportasi masal murah n nyaman segera terwujud ya mba..

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.