Tuesday 3 September 2013

Belajar dari Brunei : Isu Konflik Laut China Selatan, Yang Waras Ngalah Aja


Setelah hari ketujuh, ajang lomba blog #10daysforasean membahas topik konflik Malaysia vs Singapura  yang rebutan pulang Pedra Branca, kali ini para peserta disodori topik setipe yang lebih rumit. Apa dan kenapa?

Ya, karena inilah tantangan hari ke-9 :
Dalam KTT ke-22 di Brunei Darussalam itu,  tema yang diangkat adalah “Menyatukan Rakyat, Menciptakan Masa Depan”, dengan pokok perundingan pembangunan badan persatuan ASEAN, dengan tiga pilar yaitu Persatuan Keamanan, Persatuan Ekonomi dan Persatuan Sosial dan Kebudayaan. Pembangunan Badan Persatuan ASEAN itu harus dirampungkan sebelum 31 Desember 2015

Dengan ketiga pilar tersebut, bagaimana mencapai tujuan pembangunan badan persatuan ASEAN? Mampukah negara-negara ASEAN mewujudkannya?

Sumbernya dari http://strategi-militer.blogspot.com

Dalam KTT ASEAN April 2013 lalu yang diselenggarakan di Brunei, sejumla isu dibahas para delegasi. Salah satu diantaranya adalah isu Cina Laut Selatan. Mengapa dibahas? Ya, karena isu ini melibatkan 4 negara-negara ASEAN. Satu batu sandangan yang akan menganjal menyongsong komunitas ASEAN 2015. Isu yang bakal  'mengusik' stabilitas keamanan. 

Oke, kalau Pedra Branca melibatkan Malaysia dan Singapura, setidaknya dalam kasus Laut Cina Selatan ada banyak 'peserta' yang mengklaim kepemilikan Laut Cina Selatan. Setelah (lagi-lagi) Malaysia, ada Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam, masih ada tetangga lainnya, Taiwan dan Cina yang merasa berhak memiliki Laut Cina Selatan.  

Kenapa begitu banyak negara yang punya 'sense of belonging' seantusias ini, ya? Memang se-georgeous apa sih Laut Cina Selatan ini? Padahal, kawasan ini termasuk kawasan yang 'angker' dengan kecelakaan sebanyak 293 kasus.

Seperti kebanyakan kawasan laut lepas lainnya, Laut Cina Selatan ini kaya dengan kandungan emas hitam (alias minyak) dan gas alamnya. Cina memperkirakan kalau di kawasan ini ada sekitar 213 billion barrels, lalu Amerika yang posisinya ribuan km dari kawsan ini juga memperkirakan ada 28 billion barrels.  

Apa kepentingan Amerika sampai ikut-ikutan rempong ngurusin Laut Cina Selatan? Terang saja, Amerika punya kepentingan, selain jalur mobilitas militernya, nafsu dominasinya (typically of them) yang menggebu, ada banyak negara-negara di kawasan ini yang telibat perdagangan dengan Amerika. Nah, enggak heran kalau akhirnya Vietnam dan Filipina berlomba memperkuat amunisinya. Vietnam membeli senjata-senjata canggihnya antara lain dari Rusia, Ceko dan Kanada. Sedangkan Filipina sendiri memperkuat armada lautnya dengan menambah kapal penyergap baru, tiga kapal cepat patroli, kendaraan serbu amfibi sampai helikopter anti kapal selam. Eh, ini kok kayak mau siap-siap perang , sih?

Sumbernya dari http://factfile.org/

Di kawasan Laut Cina  Selatan ini ada 4 kelompok gugusan kepulauan, yakni, paracel, Spartly, Pratas dan kepulauan Maccalesfield. Kepulauan Spartly adalah kepulauan yang paling heboh jadi rebutan. 

Kalau dalam kasus Pedra Branca, Mahkamah Internasional mendasarkan penguasaan Singapura sebagai pemenang sengketa, kasus Laut Cina Selatan ini jauh lebih ribet. Pasalnya, masing-masing negara mengajukan bukti penguasaannya atas kawasan ini. Mulai dari bukti arkeologi, pendudukan, bukti perjanjian damai sampai masing-masing menempatkan pasukannya. Pusing-pusing deh, tuh Mahkamah Internasional hehehe.....

Sumbenya ngambil dari http://www.globalsecurity.org/

Yang Waras Ngalah

Syukur deh, Indonesia enggak ikut-ikutan rebutan kawasan ini. Sebagai pihak yang netral, Indonesia lebih bebas memainkan perannya dalam kasus ini. Seperti apa? Sebagai sesama anggota ASEAN, tentu semuanya sepakat kestabilan politik jadi perhatian penting untuk menunjang keharmonisan kawasan ASEAN. Yang waras, ngalah aja, deh. idiom seperti ini sudah sering kita dengar ya, saat beberapa teman kita berantem Enggak ada pihak yang sepenuhnya menang kalau seandainya tensi yang semakin 'panas' menimbulkan perang. Bahkan pihak yang ternyata menang, tetap menanggung kerugian juga, tuh. Alih-alih konfrontasi, mediasi, berunding adalah alternatif yang paling memungkinkan. Beberapa negara yang terlibat berusaha menahan diri.  Sedangkan Filipina adalah negara yang paling 'semangat'  mempertahankan klaimnya. 

Indonesia bisa lebih fokus pada Filipina agar lebih kalem, enggak angot.  Indonesia bersama Mahkamah Internasional bisa menjadi mediator untuk menengahi masalah ini. Memfasilitasi perundingan untuk menyepakati batas-batas wilayah diantara negara-negara yang bersengketa, misalnya. Meski tidak mudah dan perlu proses yang panjang, penyelesaian Pedra Branca yang enggak nyeret-nyeret armada perang bisa menjadi contoh.

Selain itu, Filipina juga bisa belajar dari Brunei Darusalam. Meskipun terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan, Brunei tidak terlalu bernafsu memobiliasi kekuatannya. Dari segi Finansial, sebenarnya Brunei enggak ada masalah untuk itu, secara Brunei adalah negara dengan pendapatan perkapita tertinggi ke-2 di ASEAN setelah Singapura. Namun, di sisi lain, Brunei dihadapkan pada kondisi SDMnya yang terbatas. Negeri mungil dengan jumlah penduduknya sekitar empat ratus ribuan (kurang lebih setara dengan jumlah 4-5 kecamatan di Bandung) ini berpikir enggak produktif 'memobilisasi' penduduknya. Pretty wise :) . Nah, enggak heran ya kalau negeri tetangga ini termasuk saudara yang paling anteng dan kalem. Bukan berarti kita harus manut, diam alias pasrah saat hak kita diambil, atau dijajah, lho. Bukan, ya.  Merunut kronologi kasus ini, tentu enggak bisa disamakan dengan yang terjadi di Palestina, misalnya. Buat saya, "Setiap Penjajahan di atas muka bumi, memang harus dihapuskan!". 

Dalam hal ini, Penentuan zona wilayah diantara masing-masing negara yang bersengketa belum mencapai final. Belum jelas siapa yang menang. Brunei memilih menunggu hasil melalui jalan damai/mediasi. 

sumbernya dari http://mappery.com/

Lazimnya dalam satu keluarga, selalu saja ada silang pendapat antara saudara. Masa iya sih sama kelaurga sendiri gontok-gontokan? Padahal Komunitas ASEAN 2015 sudah hampir di depan mata. Dalam situasi ini, kita analogikan Indonesia sebagai saudara yang tidak punya kepentingan, bersikap Netral.  Sementara itu Filipina, Malaysia dan Vietnam  bisa belajar dari sikap yang diambil oleh Brunei Darusalam. 

Ayolah, kompak dong. Jangan suka main caplok-caplokan, klaim-klaiman sampai pamer kekuatan segitunya. Bersatu kita teguh, bercerai? Apa kabar komunitas ASEAN :)



Sumber :
http://id.voi.co.id/voi-komentar/3360-ktt-asean-brunei-darussalam-dan-isu-laut-china-selatan
http://irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964 
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/06/laut-cina-selatan-salah-satu-laut-paling-berbahaya-di-dunia
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/07/130614_indonesiadefencedynamic.shtml
http://jaringnews.com/internasional/asia/18498/asean-sepakati-penyelesaian-konflik-laut-china-selatan
http://www.voaindonesia.com/content/asean-sepakati-tata-perilaku-untuk-hindari-konflik-di-laut-cina-selatan/1695380.html
http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/06/21/brunei-darussalam-tahu-diri-soal-kepulauan-spratly-374476.html
Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.