Thursday 5 September 2013

City of ASEAN : Perlu Lebih dari Sekedar Sosialisasi



Finally, lomba blog #10daysforasean sampai di hari terahir, hari ke-10. Siapa bilang cuma film suspen aja yang bisa memompa adrenalin? Lomba blog yang satu ini juga enggak kalah hebohnya memancing sensasi deg-degan. Mulai dari sensasi 'mupeng' hadiahnya (pastilah), menebak tema apa yang bakal disodorkan panitia sampai jungkir balik nguplekin referensi pendukung posting.

Dan inilah tema hari ke-10 : 
Menurut teman-teman blogger mengapa Jakarta bisa terpilih sebagai Diplomatic City of ASEAN? Apa dampak positif dan negatifnya bagi Indonesia khususnya Jakarta? Kesiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh Jakarta sebagai tuan rumah dari Perhimpunan Bangsa-bangsa ASEAN?


Sejatinya, sebuah kota yang dipilih untuk menjadi ibu kota sebuah negara adalah terpenuhinya 4 pesyaratan yaitu : Wilayah yang cukup luas, tidak rawan bencana, memiliki infastruktur yang memadai dan memiliki universitas yang dapat menjadi pusat kekuatan sosial dalam masyarakat mengontrol kekuasaan. 

Dalam konteks ASEAN, kecuali luas wilayah,  syarat ini sebenarnya tidak saja terpenuhi oleh Indonesia. Malaysia dan Singapura malah punya fasilitas yang lebih baik. Lalu apa dong kelebihan Indonesia?. 

Ternyata catatan sejarah diplomasi Indonesia bukan cuma melulu melilbatkan Indonesia dengan para meneer kompeni (baca : penjajah Belanda), tapi juga dengan tetangga lainnya, sesama penduduk planet bumi. Gedung  Merdeka di jalan Asia Afrika dengan arsitek khas gaya Belanda ini jadi saksi sejarah peran Indonesia dalam diplomasi Internasional.

sumbernya dari http://www.bandungheritage.org
Terlibatnya Indonesia dalam menggagas Konferensi Asia Afrika tahun 1955 dan peran Indonesia dalam terbentuknya Gerakan Non Blok menunjukan kalau Indonesia mempunyai diplomat ulung yang 'diperhitungkan'. Sebutlah dulu kita pernah punya Muhammad Hatta,  Adam Malik dan Ali Alatas.  Di kancah ASEAN, Indonesia juga berperan aktif sebagai penengah masalah antara Kamboja dengan Vietnam dan masalah Moro di Filipina.  Komunitas ASEAN sendiri adalah usul yang dilontarkan oleh  Indonesia pada KTT ASEAN ke-9 di Bali.

Apa keuntungannya bagi Indonesia?


Jaim alias jaga imej. Ya, ternyata dengan terpilihnya Indonesia, dalam hal ini Jakarta menunjukkan bahwa Indonesia masih diperhitungkan, disegani olah negara-negara ASEAN lainnya. Sebuah kepercayaan sekaligus juga jadi tantanga buat Indonesia untuk menunjukkan citranya sebagai negara yang friendly, negara yang asik sebagai ibukota diplomatik ASEAN.

Dengan ditunjuknya Jakarta  sebagai ibukota diplomatik ASEAN harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Tentunya ada banyak infrastruktur yang perlu dipersiapkan untuk mendukung hal itu. Indonesia, dengan sumber demografinya yang 'melimpah' bisa memanfaatkan hal itu untuk membuka lapangan kerja baru. Persentase penduduk Indonesia yang terkonsentrasi dalam kelompok usia produktif mestinya sih bisa dimaksimalkan. Bukan hanya sebagai tenaga kasar (buruh), tapi juga memberikan kesempatan yang lebih luas kepada tenaga profesional. Sah dong, kalau mendahulukan tenaga prosfesional lokal, dibanding tenaga asing? Ini juga sebagai bukti kalau SDM Indonesia bisa (dan harus)  jadi tuan rumah di negeri sendiri. 



Kesiapan Indonesia


sumbernya dari okezone.com

Layaknya ibukota yang menjadi magnet aktivitas ekonomi, Indonesia akan menjadi magnet arus ekonomi dan investasi negara-negara ASEAN. Apalagi, dengan jumlah penduduk terbesar se-ASEAN , bakalan menjadi pasar yang dibidik semua pelaku bisnis di ASEAN.  Ironis jika akhirnya semakin banyak investasi yang ditanamkan di Indonesia tapi tidak berhasil menyerap potensi sumber daya yang ada di Indonesia. 


Jakarta perlu menyiapkan beberapa aspek terkait. Selain Jakarta bakal jadi sering sorotan, ada banyak PR yang harus dibenahi. Mulai dari kesiapan lingkungan yang nyaman sebagai tuan ramah. Seperti kita ketahui, Jakarta bukan saja dihadapkan dengan persoalan kepadatan penduduknya. Kemacetan lalu lintas, banjir yang sering terjadi, sampah, kerawanan sosial yang berimbas pada masalah hukum. Indonesia harus bisa meyakinkan tetangganya di ASEAN dan juga negara-negara lain yang memantau, kalau Jakarta adalah tempat yang aman dan nyaman untuk dikunjungi. Enggak semudah membalikan telapak tangan memang. Penertiban PKL misalnya, tidak cukup dengan melarang dan mengusir  mereka untuk berjualan, hal ini terkait dengan kesejahteraan penduduk. Jika tidak arif menyikapi, bisa menimbulkan ekses lain, misalnya angka kejahatan yang meningkat. 

sumbernya dari http://koran-jakarta.com

Sementara itu masalah sampah, selain menimbulkan dampak banjir yang bisa mengganggu kesehatan, mobilitas, juga menyisakan PR untuk para perumus kebijakan dalam memformulasikan kebijakan agar tata kota Jakarta bisa lebih baik. Singapura bisa menjadi rujukan untuk hal ini. 


Alih-alih posisi Jakarta sebagai ibukota diplomatik ASEAN, jadwal Komunitas ASEAN yang berlaku lebih cepat dari sebelumnya (semula direncanakan tahun 2020) masih banyak yang belum 'ngeh'. Dalam rentang dua tahun ke depan, Indonesia harus memenafaatkan waktu dengan maksimal untuk  mensosialisasikan hal ini. 

Jangan sampai Indonesia jadi penonton saja, menjadi jongos di kampung halaman sendiri. Perlu lebih dari sekedar sosialisasi semata.  Saat Ekonomi berusaha menggeliat kembali setelah dihajar 'krismon' di tahun 1997an, sekarang ini kurs Indonesia - mulai limbung setelah disenggol dolar- kembali melemah dan menyentuh angka Rp. 11.000.  Kasus langkanya kacang kedelai sebagai bahan utama industri tahu dan tempe, misalnya. Kasus ini melilbatkan banyak hal, Masih tingginya ketergantungan bahan produksi terhadap konten luar negeri. Penyediaan bahal lokal yang lebih tersedia melibatkan banyak hal, mulai dari penyediaan lahan, teknologi dan (lagi-lagi) apresiasi yang tinggi terhadap tenaga ahli (baca : gaji) untuk terus melakukan inovasi.

Sementara itu, Indonesia mempunyai pasar digital yang luas. Tercatat, pada tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat ke-8 dunia sebagai  pengguna mobile internet. Dengan minat yang tinggi terhadap mobile internet, harusnya hal ini jadi sumber kekuatan indonesia sebagai penguasa pasar ASEAN lewat e-commercenya. Apalagi jumlah wirausahawan alias entrepreuner di Indonesia masih kurang dari angka 2 persen. Peluang yang sangat sayang sekali kalau dilewatkan 


Perlu lebih dari sekedar sosialisasi untuk menyiapkan Indonesia. Kalau sudah 'ngeh', maka langkah berikutnya yang harus segera diambil adalah PR besar bagi Indonesia.



Referensi :

Share:

1 comment:

  1. Masih banyak yang perlu ditingkatkan ya mbak Efi.

    Tinggal tunggu pengumuman nih. Moga menang yaa :)

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.