Friday 14 December 2012

Janur Kuning



(Awal Oktober 2011 kemarin aku mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan IIDN Bandung. Semua peserta wajib membawa naskah cerpennya buat dikoreksi narsum (Teh Triani Retno a.k.a Teh Eno dan Suyatno Pamungkas). Ternyata oh ternyata banyak sekali yang dikoreksinya. Cerpen ini sudah aku perbaiki dari naskah sebelumnya, mulai dari ejaan, tanda baca sampai konfliknya. Mudah-mudahan ke depannya bisa nulis cerpen yang lebih baik lagi). 

“Ayolah Cit, temeni aku yaa? Please…” bujuk Mira setengah memelas. “Kamu tahu kan, kalo seorang perempuan dan seorang laki-laki berduaan yang ketiganya itu,…”

“Setan!” potong Citra. “Nah, itulah Mir. Kalo aku ikut, aku jadi setannya dong?ogah ah. Emang enak jadi kambing conge?”

“Ih Cit, yang bilang kamu setan atau kambing itu siapa?” Mira tertawa geli. “Sebentar aja. Bapak sama ibu kan lagi pergi. Kalau mereka udah dateng, kamu boleh pulang kok.”

Citra melongok ke jendela, sebentar lagi hujan turun, tidak ada salahnya menemani Mira sahabatnya ini. Lagi pula Citra penasaran dengan sosok Agas, calon dokter yang bakal datang  berkunjung sore itu. “Baiklah, tapi nanti traktir aku ya.!”

 “Anything,” Mira memeluk Citra senang sambil menjawil pipi  Citra yang tembam  mirip bakpau.

Citra meringis, “Mir, kira-kira dong.  pipiku ini ga diasuransiin. Kalo melorot gimana?”
Assalamualaikum!  bel di depan pintu berbunyi.

“Nah, itu dia,” Mira terlonjak dari kursi. “Kamu bukain dulu pintu ya, aku ganti baju sama pake berego dulu.
“Waalaikumsalam,” Citra membukakan pintu. Sesosok tubuh menjulang berdiri di hadapannya, tersenyum kikuk sambil membetulkan kaca-matanya.  “Silahkan masuk, aku panggil Mira dulu, ya.” 

 Tidak sampai lima menit, mereka bertiga larut dalam obrolan. Agas ternyata enak diajak ngobrol, berbeda 180 derajat dengan penampilannya yang cuek plus kacamata tebalnya itu yang justru membuatnya terlihat cool. Mira mengenal Agas lewat Yudi teman kuliahnya dulu. Agas yang sedang menjalani co-ass di sebuah rumah sakit swasta itu juga ternyata penggemar berat bola, sama maniaknya dengan Mira dan Citra. Maka semakin mengalirlah obrolan sore itu.

“Kalo aku sakit, ga usah cari dokter lain ya Mir. Berobat aja sama Agas, gratis kan?” canda Citra.“Boleh, tapi kamu kudu jadi upik abu dulu.”      



“Upik abu? Wah, nanti dapet pangeran dong?”  canda Citra lagi. Agas tersenyum mendengar celotehan mereka. Dalam hati, ia berdoa semoga saja kehangatan seperti ini juga yang bakal ia terima saat berjumpa ayah ibunya Mira.

***
“Mbok ya kamu tuh milih calon suami yang bener toh nduk,”  ujar Ibu sambil  meletakkan majalah yang baru dibacanya. Baru saja Agas berpamitan pulang. 

“Lho, emang kenapa dengan Agas  Ma?” tanya Mira.

“Lah itu.  tampangnya, aduh.. kamu tuh putih, cantik,  langsing. Agas? Ndak ganteng, kacamatanya tebel gitu, kayak yang kuper. Kamu liat keponakan-keponakanmu itu. Bapaknya ganteng-ganteng, Ibunya ayu-ayu. Ndak heran toh kalo Susi keponakanmu itu juara lomba fotogenic di majalah. Kalau kamu jadi sama Unggas eh siapa itu…”

“Agas Bu,  kok unggas sih?”

“Ya itu, terserahlah siapa namanya. Apalagi kamu kan udah kerja, dia masih co-ass. Mana dateng ke sini pake motor, bukan mobil....”

Mira melirik Bapak yang asik menonton tv, berharap pembelaan. Sama saja, tidak ada reaksi pembelaan. Dominasi Ibu yang kuat membuat keputusan di rumah ini dikuasai beliau. 

“Mira minum dulu Bu. Haus,” Mira meninggalkan Ibu, percuma berdebat.  Mentang-mentang dua orang kakak iparnya punya fisik  menarik dan kendaraan mewah, Mama juga menuntut hal yang sama dari Agas. Memang tampang dan materi jaminan mutu? Fiuuuh, menyebalkan!

Tapi bukan Mira kalau ia menyerah begitu saja. Otaknya berpikir keras, mencari jalan keluar. Selang beberapa menit, Mira menelepon Citra, membahas jalan keluar dengan sahabatnya sejak SMP itu.

“Hah?” Citra tersedak kaget. Hidungnya terasa sakit, air minum yang sudah mengalir di kerongkongnya terdorong keluar. Air matanya berderai, sambil terbatuk-batuk Citra mengusap pipinya. “Gila kamu Mir. Enggak ah. Enggak mau!”

“Demi aku Cit. Please,” Mira memelas.

Citra tercenung, ide Mira benar-benar konyol. Citra tidak berani membayangkan lebih jauh.
***

Riuh rendah suara di gudang saling bersahutan. “Rak E-102, kosong. Rak E-103  ada yang cacat 3 pieces, Rak 104 ada barang nyasar.”

“Eh tunggu, jangan cepet-cepet, kodenya sama ga?” seru yang lain.

Mira duduk bersandar di sudut ruangan, sekali-kali terdengar suara bersin kecilnya. Ia tidak terbiasa dengan gudang yang pengap, panas dan berdebu. Enam bulan sekali perusahaan melaksanakan stock opname. Beberapa staf diturunkan membantu stock opname supaya cepat selesai sementara order dari pelanggan ditunda selama beberapa hari ini.  

“Yang haus yang lapar, sini dong. Ngopi dulu yuk,”  Tika berseru dari sudut lain. Dalam sekejap, meja tempat Tika menyimpan makanan diserbu kru stock opname. Baru saja Mira menggigit  bakwannya, Andri memanggilnya dari pintu Gudang.

“Mir, ada telepon tuh dari pusat. Penting!”

“Siapa?”

“Bos besar,” Andri meniru mimik dan gaya Pak Alex, beberapa karyawan tersedak gara-gara cekikikan melihat ulah Andri yang kocak.

“Kualat kalian,” Mira menggeleng-gelengkan kepala sambil berlalu meninggalkan teman-temannya yang berebut air minum.

“Mir, awal tahun nanti cabang kita di Solo sudah siap beroperasi. Kamu bisa pegang posisi ADH di sana?” Pak Alex langsung to the point menyampaikan maksudnya.

“Eh, bulan depan pa? Saya kira perusahaan mau  ngambil dari yang baru.” 

“Untuk posisi lain kita memang merekrut dari pelamar, tapi untuk posisi itu saya enggak mau ngasih sama orang baru. Terlalu riskan. Kalau kamu bersedia, Sandra bakal gantiin posisi kamu. Buat detilnya, nanti Pak Lutfi yang jelasin sama kamu.” jelas Pak Alex. “Eh, nomer HP kamu susah banget dihubungi, kenapa?”

“O iya, HP saya hilang seminggu yang lalu Pak. Saya lupa memberi tahu. Maaf.” Mira menepuk keningnya. Ah, sibuk dengan stock opname sampai lupa mengabari semua orang. Semua orang? Mira jadi teringat Citra dan Agas. Sudah  beberapa minggu ini tidak ada cerita dari Citra tentang Agas.

“Ya sudah, saya tunggu sms dari nomor HP kamu yang baru ya.” Suara Pak Alex membuyarkan lamunannya.

“Eh Pak,” 

Tut tut tut

Terlambat, Pak Alex keburu menutup telepon dari sebrang. Bukan karena jarak Bandung – Solo yang lumayan jauh, bukan soal fasilitas yang bakal didapatnya nanti. Senyum manis Agas tiba-tiba membayang di benaknya. Setelah mengirim SMS ke nomornya Pak Alex, Mira segera menelepon Citra.  Mailbox, Citra tidak bisa dihubungi.
***

“Pak Alex bilang apa? Kita mau naik gaji ya?” Tika dan Sandra mencecar Mira saat makan siang.

“Kita ditraktir liburan akhir tahun ya?” timpal Sarah.

"Ngarang kalian. Aku ditugasin ke Solo Januari nanti.”

“Dua bulan kurang dong?” Tanya Tika.

“Lah, ADH Bandung siapa yang pegang?” tanya Sandra.

“Kamu gantiin aku San. Pak Alex bilang gitu.”

“Eh, kalo kamu ke Solo, gimana masa depan kamu sam Agas?” giliran Tika yang bertanya. Tangannya sibuk mengupas Mangga Golek yang sengaja dibawanya dari rumah.

Mira menghela nafasnya. “Itulah,” sahutnya lirih. Mira menyudahi makan siangnya. Tidak biasanya nasi dan lauk pauknya masih tersisa. Mira mengeluarkan hpnya, mencari nomornya Citra dan menekan tombol ok.

Terhubung, tapi  tidak ada nada jawaban. Ah ya, Citra kan belum tahu nomor baru Mira. Tipikal Citra yang ogah menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya. Mira segera mengetik sms, memasukkan nomor HPnya Citra.
***

“Mir, tadi pagi Citra ke sini. Katanya HP kamu susah dihubungi,” Mba Laras kakaknya muncul dari dapur. Kedua tangannya berlumuran adonan kue, sibuk berkutat mencoba resep baru. Hobi Mba Laras yang sukses membuat  Mas Dion jadi gendut.

“Iya Mbak, HPnya mati, aku lupa nge-charge. Eh, dia nitip pesan ga?” Mira baru saja pulang sore itu.

“Tadi dia cuma sebentar aja, dia nitip undangan. Katanya dia mau nikah bulan depan.”
“Menikah? Cepet banget sih?” tanya Mira bingung. Selama  ini Citra tidak pernah cerita siapa laki-laki yang sedang dekat dengannya.

“Iya, masa kamu gak tahu sih Mir. Kalian kan sudah lama bersahabat. Ah kamu sih terlalu sibuk ngejar duit segede pintu” celetuk Mas Dion kakak iparnya.

“O iya, ada undangan. Tuh di atas tv” timpal Mba Laras sambil kembali ke dapur.
Mira membuka undangan berwarna jingga itu, lalu tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Mira mencubit pipinya. Aw, sakit. Kenapa jadi begini sih? Mira segera mengambil handphonenya, tapi Citra keburu meneleponnya lebih dulu.

“Tolong jelasin Cit! Ada apa dengan undangan ini?” sambut Mira dengan nada emosi. 

“Maafkan kami Mir.”

“Kalian,…”

“Dari awal aku sudah menolak ide kamu itu kan Mir. Tapi,…” sergah Citra. Citra berusaha menjelaskan semuanya. Sementara Mira tidak banyak berkata-kata mendengar penjelasan Citra. Saat ide konyol itu terlontar Citra memang sempat khawatir. Pura-pura dekat, mengamuflasekan hubungan antara Agas dan Mira malah membuat beni-benih  cinta itu jadi tumbuh antara Citra dengan Agas bukan sebaliknya.

“Aku capek Cit, selamat malam”. Klik.  Mira mengakhiri pembicaraannya. Hujan malam itu seperti turut merasakan kesedihannya. Mira tidur bergelung di kasurnya, perlahan bulir-bulir bening mengalir dari kedua sudut matanya lalu jatuh semakin deras.
***

“Jadi giman Mir? Kamu mau ambil posisi ini?” Tanya Pak Lutfi.

“Untuk tempat tinggalnya gimana Pak?”

“Itu bisa diatur. Kamu terima beres.  Tidak akan diambil dari gaji kamu kok.” Pak Lutfi tersenyum.

“Baiklah, saya ambil Pak.”

“Ok. Semoga sukses ya. Segera siapkan surat-surat pindah kamu ya.”

Mira mengangguk.  “Terima kasih. Segera saya bereskan.”
***

Mira terbangun saat handphonenya berdering. Dengan perasaan malas, Mira meraih handphonenya. Panggilan dari Yudi.

"Hallo." Mira bangun dari tidurnya lalu duduk bersandar sambil memeluk guling. Punggung tangannya mengusap kelopak matanya yang menghangat. Ah ternyata tidak mudah melupakan Agas.

"Tadi aku ketemu Andri, katanya kamu mau ke Solo. Kamu serius? Di sana kan kamu enggak punya famili Mir."

"Aku sudah mempertimbangkannya matang-matang Yud."

"Bukan karena pelarian sakit hati kamu?"

"Termasuk itu," desah Mira. "Peluang aku ketemu mereka jadi semakin sulit kan?" dalih Mira.

"Ah, dari dulu kamu selalu seperti ini. Kapan berangkat ke Solo?"

"Nanti pas libur akhir tahun Yud."

"Jangan bilang klau kamu pergi barengan sama hari pernikahan Citra sama Agas."

"Memang barengan Yud," Mira menarik nafasnya. Sedu sedannya mulai mereda.

"Ya sudah, aku enggak akan maksa kamu datang Mir. Aku ngerti kok. Sukses ya buat karirmu di sana. Eh, jangan-jangan kamu ketemu jodoh di sana Mir." Yudi mencoba mencairkan suasana.

"Apaan sih Yud? Kamu nih ngarang ah," Mira tertawa kecil mendengar ledekan Yudi.
"Nah gitu dong Mir. Aku seneng kamu udah ceria lagi. Ya sudah, selamat istirahat ya. Salam buat adikmu si Yuni. "

"Hahaha, jadi kamu tuh mau ngehibur aku atau pedekate sama calon kakak ipar?”
Yudi balas tertawa. "Namanya juga usaha Mir. Oke deh, sampai nanti ya. Assalamulaikum."

"Waalaikumsalam."

***
“Jadi giman Mir? Kamu mau ambil posisi ini?” Tanya Pak Lutfi.

“Untuk tempat tinggalnya gimana Pak?”

“Itu bisa diatur. Kamu terima beres.  Tidak akan diambil dari gaji kamu kok.” Pak Lutfi tersenyum.

“Baiklah, saya ambil Pak.”

“Ok. Semoga sukses ya. Segera siapkan surat-surat pindah kamu ya.” Pak Lutfi mengulurkan tangan mengucapkan Selamat.

Mira mengangguk.  “Terima kasih. Segera saya bereskan.”
***

“Bisa lebih cepat enggak?” tanya Mira gusar. Setengah jam lagi kereta berangkat. Antrian mobil dan motor memenuhi jalan sampai ke bahu jalan. Yuni, adiknya yang paling bungsu menekan klakson motor kesal. Telunjuknya menunjuk ke depan. Beberapa motor di kanan kiri mobilnya coba menyelip mencari celah di kanan kiri mobilnya. 

“Ada apa sih ni?”

“Ada tabrakan di depan Bu, sekarang lagi dievakuasi,” seorang penjual Koran menjelaskan.

“Kita lewat jalan itu saja Mba.” Yuni menunjuk tikungan di depan.

“Gila Yun, itu kan satu arah, ga boleh lewat sana.”

“Terserah, kalau enggak mau ketinggal kereta, Mumpung jalur itu belum rame Mba.” Yuni mengangkat kedua tangannya. “Lagian polisinya lagi sibuk ngatur arus kendaraan dekat TKP.”

“Ya sudah. Mudah-mudahan kita bisa lolos.”

Yuni memperhatikan jalur di sebelah kiri, ada celah yang bisa di lewati.  Yuni segera mengambil posisi menikung, seorang pengemudi motor  yang hendak mengambil jalan ngomel-ngomel, kalah cepat dengan mereka. Yuni melambaikan tangannya sambil tersenyum bandel. “Sorry pak, ngejar kereta ni”.

Jantung Mira berdegup kencang saat melewati sebuah gedung. Janur kuning menjulur di pintu masuk. Inisial nama yang dicetak dengan warna keemasan dalam stereo foam yang menggantung di bawah janur itu. Beberapa mobil mulai berdatangan memasuki area gedung. Ujung ekor Mira mencari-cari mobil paling berbeda di antara lainnya.

“Mereka belum datang sepertinya.” Yuni tiba-tiba nyelutuk. “Pulangnya aku boleh mampir ke sini ya Mba?” goda Yuni.

 “Datang saja Yuni. Makanya Mba ngotot mau pergi hari ini juga. Mba enggak sanggup lihat mereka.” 

“Sabar ya Mba,” dalam hati Yuni merutuk, menyesal kenapa mesti menggoda Kakaknya seperti itu.

Jam 07.50  akhirnya mereka sampai di stasiun. Mira melirik jam tangannya. Masih ada waktu 10 menit sebelum berangkat. “Thanks ya Yun, udah nganterin Mba. Kamu baik-baik di rumah ya, jangan sering keluyuran,” pesan Mira. Yuni mengangguk tetap dengan senyum jailnya. Setelah menyimpan koper Mira, Yuni bergegas pamit.

“Mba juga baik-baik di sana ya. Jangan lupa kirim insentif ke rekeningku.”

Mira tersenyum. “Beres.  Eh Yun,  ada yang mbak lupa aja dari dulu nih. Ada salam dari Yudi."

"Udah ketemu minggu kemarin kok Mba. Hehehe, Mas Yudi lucu juga ya. Mudah-mudahan Ibu enggak rewel sama dia."

"Makanya yang serius kuliahnya. Eh cepet turun, nih keretanya bentar lagi mau pergi."
Yuni memeluk Mira haru. "Yuni bakal kangen sama Mba Mira."
***
Dua jam berlalu, Kereta yang ditumpangi  Mira sudah meninggalkan Bandung. Mira tengah menikmati pemandangan dari jendela keretanya ketika sebuah sms dari Yuni masuk ke hand phonenya. Mira terpaku membacanya.

“Mba, kecelakaan yang bikin macet tadi pagi itu ternyata mobilnya rombongan Mas Agas. Sekarang mereka ada di UGD, Mas Agas koma.”

Sementara  puluhan kilometer dari Mira berada, Citra duduk gelisah  di depan ruang UGD, masih lengkap dengan busana pengantinnya. Riasan pengantinnya mulai luntur,basah oleh air matanya.

“Sabar Cit, istighfar..” beberapa suara mencoba menenangkan Citra.
Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.