Friday 21 September 2012

Seperti Abah


*Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba Flash Fiction di FB, saya repost lagi di sini ya :)* 

“Eh San, kalo Budi poligami gimana?”  tanya Lia tiba-tiba.
“Langkahi dulu mayatku!”  tukas Susan sambil menyuapkan es campurnya.  Wina yang sibuk membaca koran sore mengangkat mukanya .

“Kalau aku,” timpal Wina sambil mencomot gorengan di depannya. “Aku yang bakal langkahin mayat perempuan yang mau jadi istri keduanya Bagus.”

“Gila, sadis bener sih Win?” Tanya Susan.

“Ya iya lah. Kalau langkahi mayatku, aku mati eh mereka merit dong?” Wina segera menutup wajahnya dengan koran sorenya itu, jadi tameng dari serangan pop corn. Asri termenung mendengar kicauan gokil teman-temannya. Tentu saja mereka tidak akan sesadis itu. Dua minggu lalu Arif mengajaknya berkomitmen. Jujur, Asri tidak mengkhawatirkan tampang Arif yang biasa saja. Dibanding suami-suami temannya yang sedang bercanda ini, Arif kalah gantengnya. Tapi dengan sikap Arif yang simpatik, pintar  dan ringan tangan, siapa sih yang gak kan dibuat ngelepek?



Susan terkekeh. “Eh As,  belakangan ini aku perhatiin kamu sering ngelamun, hayoo lagi naksir siapa?”

Pipi Asri bersemu merah,. Susan paling jago membaca mimik  muka  teman-temannya. “Tenang As, kita ga bakal berani ngajak kamu berantem. Apa kabarnya suami-suami kita?” goda Susan jail. “Pokoknya cepet kenalin kita sama pangeranmu itu ya.”

****
Obrolan sore itu masih terngiang-ngiang di telinga Asri. Dering handphonenya membuyarkan lamunan Asri. Ada nama Arif  muncul di layar hand phonenya.

“Ya, Waalaikumsalam,” jawab Asri datar.
“Kamu sakit As?” tanya Arif dari sebrang. Asri menggeleng. Jari tangan kananya memilin-milin ujung mukenanya.
“As…” tanya Arif lagi.
“Oh enggak Rif, aku  gak apa-apa,” jawabnya. Asri lupa Arif menelponnya, bukan sedang ber -teleconference.
“Jadi gimana? Kapan aku boleh ketemu orang tuamu?”

Asri menghela nafas pelan. Entah kekuatan dari mana tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya obrolan teman-temannya sore kemarin.
“Jadi selama ini itu yang kamu pikirin?” tanya Arif.  “As, saya ingin seperti Abah,” lanjut Arif. Asri semakin deg-degan menunggu kelanjutan cerita Arif.

“Ambu, ibu kandung saya sudah meninggal 10 tahun lalu, karena sakit gula. Sejak sakit, Ambu minta Abah menikah lagi karena Ambu tidak bisa sepenuhnya melayani Abah. Tapi Abah tidak mau. Abah takut tidak bersikap adil Bahkan ketika Ambu sakit, Abah yang paling banyak mengurus Ambu sampai meninggal. “

“Setelah Ambu meninggal, Abah mau menikah lagi, itupun kami yang memaksa. Kasihan Abah sendirian di kampung,” pungkas Arif.

Bulir-bulir hangat mengalir di pipi Asri.

“Saya berjanji dalam hati, kalau saya menikah nanti, saya akan setia seperti Abah pada Ambu.”

Asri tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya ingin sekali  menelpon Umi dan Abi mengabarkan semuanya.
Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.