Saturday 23 August 2008

Teaching or giving? (part one)

Pengamen jalanan, sudah pasti pernah menemuinya kan? They sing a long no matter how good or bad they do, some people would give some money. Kadang di beberapa perempatan tertentu kita sudah hafal siapa saja mereka. Ya, kalau nyanyinya bagus udah jadi nilai plus, they can gain much more. Kalau pas-pasan atau fals bin sumbang masih ada juga yang menaruh iba. Yang parah pengamen yang tiga perempat maksa-maksa seperti di sekitaran pasar baru bandung. Huah, gayanya memang nyebelin. Physically penampilan mereka lebih mirip anak-anak berandalan. Kalau dapat uang ga ada masalah. The problem is when no one care. Mereka nyaris malak penumpang sampai masuk ke dalam angkot dan menadahkan tangan, even sampai ke penumpang yang duduknya paling mojok.
O, that's worst! Aku pernah mengalaminya. Kadang kalau ketemu mereka i think i better gave them some, males banget kalau lihat mereka uring-uringan, keluar serapah, ngeludah etc.
And.. at the time, aku gak punya uang kecil. Pas banget buat ongkos, sialnya lagi aku penumpangnya lagi lowong dan ga ada yang ngasih. Try to think in positive way, mungkin mereka juga ngalamin hal yang sama.
Tapi tetap saja orang ga sama kan? So, gitu juga dengan pengamen. They were mad. Bahasa planetnya keluar plus serapah-serapahnya cukup bikin merah kuping. "Sialan, kalian penumpang payah, pelit. Ga bisa apa kasih uang dikit buat kami makan?" kurang lebih seperti itu mereka ngomel sambil meludah.
Silly. Aku jadi pengen tertawa. Ga punya uang buat makan ya?penyless for food?lha, apa itu di tangan?there's some money in his hand. Aku ngelihat ada banyak lembaran uang ribuan, ada lembaran sepuluh ribu. Buat apa ya?
Ah, never mind, sorry aku ga ngasih kali ini batinku. Meski nyebelin, ga ada gunanya ngeladenin orang-orang nekat kaya mereka. I think it's a big home work buat aparat, bukan cuma asal seret asal gelandang, tapi juga approach yang sesuai buat mereka.
Meanwhile di beberapa perempatan lain ada fenomena sama dengan latar belakang berbeda. Di perempatan soekarno hatta - pasir koja, banyak sekali gerombolan gelandangan bocah di sana. Kasihan betul kondisi mereka. Usianya sekitaran usia SD. Ada yang ngamen asbun, asal jreng, asal tepok. Nawarin jasa ngelap dengan kemoceng atau malah lap yang sebenernya malah bikin kotor. Yang lebih ekstrim lagi ngemis, minta uang langsung! Sementara bocah-bocah kecil ini mengusik pengguna jalan, ga jauh di sudut jalan ada induk semangnya yang memperhatikan mereka. How poor. Bisa bayangin apa yang bakal terjadi kalau bocah-bocah ini ga bisa memuaskan induk semangnya? Mungkin hardikan, mungkin pukulan, tendangan, ga ada makanan dan sebagainya.
Yeah, what can i do? Setidaknya aku cuma bisa ngasih mereka sedikit receh even though it won't solve the problem.
Pernah terpikir ga kenapa induk semangnya seperti luput dari pengamatan? Seem that they weren't exist.
Lain waktu aku pernah ngasih pengamen sedikit receh. Kebetulan sekali penumpang yang tersisa tinggal aku. Ga lama setelah lampu hijau menyala dan angkot yang aku tumpangi kembali melaju sang sopir menegurku.
"Kebiasaan neng. Mereka tuh pemalesan. Mending jangan dikasih aja, ga mendidik,"selorohnya.
Aku diem aja. Mendidik? Dengan cara apa aku mendidik? Apa kalau aku atau siapapun ga ngasih mereka bakal mikir, "o ya. Aku ga dikasih nih, aku lagi dididik penumpang buat ga ngamen lagi."
Begitu ya? Trus apa kita udah kasih solusi? I bet they wouldn't think so. Sepertinya mereka ga bakal begitu aja berhenti mengamen. Mereka sudah kebal dengan drama kejar-kejaran satpol PP.
Aku pikir kita ga bisa begitu aja memukul rata, mengeneralisir semua kasus punya latar belakang sama. Pernah juga sih aku menemukan pengamen yang badannya bau lem. Jalannya sempoyongan, badannya kurus kering, bajunya kumal. Mengenaskan! Sori, untuk pengamen seperti dia aku keberatan sekali memberinya uang, jangan-jangan malah dipake ngelem.
Fiuh, mudah-mudahan aja aku ga salah. Toh untuk pengamen lainnya aku masih mau ngasih sedikit receh. Sekali lagi, aku ga bisa berbuat banyak, setidaknya mendingan kita ngasih uang buat mereka makan, daripada nekat.
Jadi teringat salah satu tulisannya Bayu Gawtama. Kalau ga salah bukunya berjudul Berhenti Sejenak.. Correct me if i'am wrong.
Kurang lebih dalam salah satu bagiannya Mas Bayu menceritakan kegemasan seorang laki-laki melihat temennya cuek, ga pernah mau ngasih pengemis yang ditemui di jalan. Sebegitu pelitnya kah?
Ternyata tidak, hingga satu waktu sang teman yang dikira pelit ini mengajak si laki-laki tadi menemui seorang ibu penjual gado-gado. Singkat cerita si ibu penjual gado-gado ini dulunya seorang pengemis. Satu waktu si ibu ini bertemu dengan si teman tadi yg dikira pelit. Dia menawarkan dua opsi pada si ibu. Mau dikasih receh, atau diberi sejumlah uang dengan syarat harus dijadikan modal usaha. Si ibu pengemis ini memilih opsi kedua. Akhirnya si ibu pengemis ini menggulirkan uang pemberian tadi untuk modal berjualan gado-gado.
Share:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini, saya bakal kunjung balik lewat klik profil teman-teman. Mohon jangan nyepam dengan ninggalin link hidup. Komentar ngiklan, SARA dan tidak sopan bakal saya delete.